Monday, February 17, 2014

An Adventure in 1870's - Chapter I

Namaku Sally Anderson. Aku lahir pada tanggal 17 Oktober 1991. Aku tinggal di kota London. Aku merupakan anak tunggal dari pasangan kaya Anderson. Ayahku adalah seorang yang memegang kekuasaan tertinggi di kantornya, dan Ibuku menjalankan sebuah restoran yang cukup terkenal di kota ini. Aku menjalani kehidupan normal layaknya manusia jaman sekarang. Bangun di pagi hari dan menjalankan aktifitas, lalu pulang setelah selesai.
            Aku membuka mata dan melirik jam kecil yang berada disebelah tempat tidur. Tanggal di jam tersebut menunjukkan hari Sabtu. Aku mencoba mengingat janji apa yang telah kubuat di hari ini, setelah memastikan aku tidak mempunyai janji dengan siapapun, aku menarik selimut hingga menutupi hidung dan mulutku. Aku sudah bersiap untuk kembali terlelap hingga sebuah bunyi keras dalam perutku yang mengganggu. Dengan terpaksa aku beranjak dari balik selimut, mengambil mantelku dan bergegas menuju ruang makan. Kulahap roti panggang, ham dan telur, serta segelas susu yang telah disediakan dengan rakus tanpa mempedulikan Ibu yang memperhatikan dengan heran. Setelah menghabiskan susu dalam sekali teguk, aku langsung bergegas ke kamar untuk melanjutkan mimpiku. Aku baru saja bermimpi indah. Mimpi yang sangat indah. Aku bermimpi laki-laki yang kucintai—James Jefferson—sedang berlutut dihadapanku dengan membawa sebuah kotak cincin. Dia baru saja membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu sampai akhirnya aku terbangun.
            Aku duduk sebentar dipinggir kasur untuk menurunkan apa saja yang baru kulahap. Setelah cukup lama, kubuka mantelku dan segera merangkak kebalik selimut. Aku mencoba menutup mata, tapi aku tak bisa terlelap. Aku mulai gelisah, miring ke kiri dan ke kanan, kucoba untuk menggerak-gerakan bola mata sambil tetap terpejam—kudengar, ini cara yang ampuh untuk membuat kita terlelap—namun tetap tidak bisa juga. Aku mencoba untuk tidur dengan posisi yang sama dalam beberapa menit dan mencoba untuk mematikan semua anggota tubuhku. Kurasakan jiwaku mulai melayang dan kesadaranku semakin menipis, yah, aku sudah siap untuk terbang. Sampai akhirnya handphone sialan itu berbunyi! Aku terlonjak dari tidurku, dan bersumpah akan mengutuk siapa saja yang memanggilku jika hal yang ingin dibicarakan adalah hal yang tidak penting. Aku mengambil handphoneku dengan kesal. Dan betapa kagetnya aku ketika membaca layar teleponku. Dari James, gumamku dalam hati. Aku mengangkatnya dan mengalunlah dua kata dengan sangat merdu.
            “Selamat pagi!”
            “Pagi, James!”
            “Hey, Sally! Apa yang sedang kau lakukan?”
            “Aku baru saja sarapan. Ada apa?”
            “Apa kau ada janji hari ini?”
            “Tidak”, aku menggigit bibir bagian bawahku.
            “Bagus! Bisa kita bertemu?”
            “Tentu saja!”
            “Baiklah, kutunggu kau di kedai Victoria pukul 9.30!”
            “Ya, aku akan kesana!”
            “Bisa tolong bawa mobilmu? Mobilku sedang dalam perbaikan”
            “Ya, aku akan membawanya.”
            “Kalau begitu, sampai jumpa!”
            Dia menutup teleponnya dan kurasakan pipiku merona. Lelaki yang sangat kucintai itu baru saja mengajakku berkencan. Aku melompat dari kasur dan mengambil semua peralatan mandiku. Aku memikirkan apa saja yang akan kami lakukan hari ini. James adalah seorang yang sangat tampan. Ia memiliki rambut, alis dan mata berwarna cokelat muda, dengan kulit pucat dan muka yang menarik. Dia pria jangkung berbadan tegap. Rambutnya tidak terlalu gondrong, dan alisnya tebal. Sikapnya benar-benar dewasa dan pembawaannya tenang. Dia adalah seorang yang sangat baik. Aku mengenalnya sejak aku belum lahir ke dunia. Ia adalah salah satu dari anak kerabat dekat orang tuaku. Kami saling mengenal satu sama lain, sehingga sudah sewajarnya James mengetahui kebiasaan burukku. Akupun juga sebaliknya. Namun sayang, karena aku terlalu mencintainya tak ada hal buruk apapun yang dapat kulihat darinya.
            Setelah berpakaian, aku melirik jam yang menunjukkan pukul 09.00. Aku buru-buru memasang sepatu dan mengambil kunci mobil yang kugantung dipintu lemari. Dengan bergegas dan hati-hati, kuturuni tangga dengan gesitnya. Tinggal satu langkah lagi untuk mencapai garasi, sampai akhirnya Ibu menghalangi jalanku.
            “Mau kemana, Sally?”
            “Aku ada janji dengan teman, Bu”, aku mencoba melewatinya.
            “Kemana?”, Ibu menghalangiku.
            “Kedai Victoria”, aku kembali mencoba.
            “Tolong jangan membohongiku lagi!”
            Aku berhenti dan terdiam, “Apa aku pernah membohongi Ibu?”
            “Sayang, sudah lebih dari hitungan jari kau membohongiku! Kau bilang ada janji dengan temanmu, tapi kau pulang dengan membawa berkantong-kantong sampah. Ketika aku melihat apa yang kau beli, sungguh, Sayang, aku benar-benar tak habis pikir. Lagi-lagi kau belanja hal yang tidak perlu!”, jelasnya.
            “Oh ya? Bagian mana yang itu? Aku tidak ingat”
            “Karena kau sudah terlalu banyak membohongiku!”
            “Apa yang aku beli saat itu?”
            “Baju, perhiasan dan barang elektronik lainnya”
            “Bu, aku kan memang memerlukan semua itu!”
            “Sayang, lihatlah lemarimu! Lemari itu baru saja diganti dan aku memesannya dengan khusus agar dapat menampung semua pakaianmu. Awalnya kupikir akan membutuhkan lama bagimu untuk memenuhinya, tapi ternyata aku salah! Lihatlah, baru dua bulan dan lemari itu sudah penuh dengan rongsokkan!”
            “Ayolah, Bu! Mereka pakaianku dan aku membutuhkan mereka!”
            “Sayang, kau tidak memakai mereka semua dalam satu harikan? Kulihat kau hanya memakai pakaian yang kau suka dan sisanya kau biarkan disana! Mengapa kau tidak memberikannya kepada sebuah yayasan? Itukan lebih baik!”
            “Aku suka mereka semua, Bu!”
            Ibu menggelengkan kepala. “Baiklah, Bu, aku akan melakukan sesuatu terhadap barang ‘rongsokan’ itu dan kuharap, secepatnya Ibu tidak akan melihat mereka lagi”, aku mencoba menyelipkan kakiku dicelah antara Ibu dan pintu.
            “Kenapa kau tidak tinggal dirumah? Inikan hari libur.”
            “Untuk apa? Menjadi pesuruh Ibu?”
            “Nak, seorang perempuan harus bisa melakukan pekerjaan rumah tangga”
            “Omong kosong! Aku akan menjadi kaya dan sukses dan aku akan menyewa banyak orang untuk mengurus rumahku. Tidak ada yang perlu direpotkan. Kita hidup dijaman modern, apapun dijaman ini menjadi mungkin”
            “Kau tidak bisa menggampangkan segala hal”
            “Baiklah, baiklah. Tapi Bu, dengar, seseorang menungguku diluar dan waktu terus berjalan, jika Ibu tidak menyingkir juga dan memaksaku untuk membicarakan hal konyol ini, aku akan terlambat dan sungguh, aku tidak ingin kehilangan satu menitku yang berharga dengannya. Jadi Bu, kumohon!”, aku memelas.
            “Apakah itu James?”
            “Ya!”, aku tersenyum lebar.
            “Baiklah kalau begitu, katakan padanya untuk membawamu pulang tepat waktu!”
            “Akan kusampaikan!”, Aku mencium pipi Ibu dan segera meluncurkan mobilku menuju kedai Victoria. Waktu menunjukkan pukul 9.20 dan aku harus melewati ribuan kendaraan disini agar dapat sampai tepat pada waktunya. Karena aku benar-benar tak mau kehilangan satu menitpun dengannya.


            Aku sampai tepat waktu. Kuparkirkan mobilku didepan kedai itu. Dari dalam mobil, tidak ada henti-hentinya kukagumi kedai yang menakjubkan itu. Kedai itu bergaya Eropa kuno dan modern. Dari depan kita dapat melihat kedalam kedai karena pintu dan jendelanya semua terbuat dari kaca dengan pinggiran kayu yang telah di cat warna hijau. Terdapat pot bunga panjang yang—aku tidak tau tanaman apa itu—bunga-bunganya bermekaran. Bagaian dalam kedai sengaja diciptakan dengan gaya eropa kuno yang memperlihatkan bata pada dindingnya. Bangku dan meja ditata dengan juga bergaya Eropa kuno yang elegan. Bangku dan meja itu ditata seperti berada didalam sebuah hansom. Terdapat beberapa ruang VIP yang tiap ruangan dibatasi dengan sekat yang telah dibuat semirip mungkin dengan kereta kuda.
            Ada dua lantai di tempat ini, lantai kedua terdapat ruangan terbuka yang dapat digunakan untuk merokok. Tapi tak sembarang rokok yang boleh digunakan di tempat ini. Hanya rokok pipa yang dibolehkan. Mengingat rokok pipa sudah jarang, hal itu dapat diantisipasi oleh pihak kedai. Mereka menyewakan beberapa pipa dan beberapa jenis tembakau yang dapat digunakan bagi siapa saja yang ingin mencoba merokok dengan cara seperti ini. Aku suka duduk diruang terbuka ini, karena dari sini, aku dapat melihat berbagai macam orang yang sedang merokok. Mulai dari yang sudah lihai menggunakan pipa, sampai yang memegangnya dengan sangat aneh. Aku tidak suka merokok, tapi aku tidak membencinya. Aku hanya suka memperhatikan mereka yang mencoba, baik untuk yang pertama maupun kesekian kalinya.
            Aku memasuki kedai itu dan menemukan orang yang kucintai duduk disalah satu kursi. Aku mengambil tempat disampingnya, dengan sumringah aku menyapanya.
            “Sudah lama, James?”
            “Tidak, aku baru saja sampai”
            “Naik apa?”
            “Bus”
            “Lalu, mau kemana kita?”
            Dia tertawa pelan, “Jangan terburu-buru! Makanlah!”
            “Tidak, akukan sudah makan”
            “Baik, kalau begitu, biarkan aku selesaikan ini dulu ya”
            James makan dengan tenang, dan aku memesan sebuah minuman. Kunikmati tiap waktu yang berlalu dikedai itu dengan James. Aku memang seorang pecinta Eropa jaman dulu. Tak peduli sudah ribuan kali aku ketempat ini, tapi tetap saja aku selalu terbius oleh keanggunan kedai sederhana ini.
            “Nah, ayo!”, kata-katanya membuyarkan lamunanku. Ia mengambil kunci mobil ditanganku dan berjalan pelan kearah mobil yang kuparkir didepan. Aku dan James membisu disepanjang perjalanan. Aku tidak ingin bertanya dan James tidak ingin menjelaskan. Aku sengaja diam karena biarlah tempat itu menjadi kejutan untukku. Mobil terus melaju dengan kebisuan yang terdapat didalamnya. Aku mengedarkan pandangan keluar jendela, menatap satu demi satu hal yang dapat kunikmati. Tuhan, sungguh indah negeri ini!
            Perjalanan yang kami lalui cukup jauh, aku sudah mulai tidak mengenali tempat yang kami lewati, ketika aku tersadar, aku melihat kami berada disebuah pemukiman kumuh. Aku menatap James dengan gelisah, tapi ia tetap tidak berkata apa-apa. Aku mulai merasa semua ini tidak benar, aku menarik lengan bajunya ingin berkata bahwa ia salah arah, tapi kemudian dia berkata, “Ayo turun! Kita sudah sampai!”
            Aku tertegun menatapnya tak percaya. “Tempat apa ini, James?”
            “Tempat yang menarik, bukan?”, ia tersenyum.
            “Tidak, James. Kau harus membawaku pulang!”, aku mulai panik.
            “Tenanglah, tak akan ada yang menyakitimu disini!”
            “James…”, aku berkata lirih. Kami berdiri dihadapan sebuah bangunan tua yang amat mengerikan. Aku berani bersumpah pasti ada ribuan hantu didalamnya. Terdapat banyak kubangan lumpur didepannya. Ada beberapa orang disana. Mereka semua terlihat mengenaskan, dengan pakaian yang serba ditambal, wajah kotor dan rambut kusut. Aku tersentak mendengar langkah kaki berderap dengan kencang ke arah kami. Rupanya anak-anak kecil tanpa alas kaki yang membawa bola dan bersiap bermain diatas tanah berlumpur itu. Aku mendekatkan diri pada James.
                James menarikku kerumah bobrok disebelah bangunan itu. Syukurlah, bangunan itu bukan tempat yang kita tuju. Walaupun rumah disebelahnya tidak jauh lebih baik, tapi setidaknya aku yakin hantu dirumah ini tidak sebanyak dibangunan menyeramkan tadi. James memasuki rumah itu sambil terus menarikku. Berbagai pikiran muncul dibenakku. Hancur sudah harapanku bersenang-senang dengan James.
                “Kupikir kita akan bersenang-senang”, isakku.
                “Yah, kurasa, ini dapat disebut bersenang-senang”
                James membuka pintu dihadapannya dan terlihatlah seorang—yang aku tidak tahu apakah perempuan atau laki-laki—sedang duduk diatas kasur sambil memunggungi kami. Orang itu berambut pendek berwarna abu-abu, kulitnya hitam dan pakaiannya banyak tambalan.
                “Selamat siang!”, James menyapanya riang. Ia menoleh dan terpampanglah wajah mengerikan dihadapanku. Ketika tersenyum, terlihatlah sederetan giginya yang menghitam. James memperkenalkanku, “Ini Sally. Waktu itu aku pernah membicarakan tentangnya padamu”
                Orang mengerikan tadi berjalan mendekatiku, aku makin merapatkan tubuhku ke punggung James. Ketika sudah cukup dekat, orang itu tersenyum. “Selamat siang, Nona manis!”, dia berkata lirih. Tampaknya seorang wanita. Aku mengangguk dengan gugup. Wanita itu tertawa. Aku mulai bergetar menandakan aku sangat ketakutan. James berbisik pelan, “Tenanglah! Orang disini baik-baik.”
                Aku menatapnya tidak percaya, apa-apaan dia? Orang macam apa yang berpikir begitu? Siapapun pasti tahu dan dapat menebak, bahwa mereka yang tinggal didaerah seperti ini paling tidak memiliki sebuah bisa beracun! “Ikutlah dengannya!”, James berkata pelan. Aku menggelengkan kepala. James mendorongku keluar dari balik tubuhnya. Wanita tadi telah memunggungiku. Aku berbalik arah, menatap James dengan tatapan minta ampun dan berkata, “James, apakah kau tega terhadapku?”
                Ia menggeleng pelan. Aku mulai merasa adanya harapan, tiba-tiba sebuah tangan memegang pundakku, aku terlonjak. Kupeluk James dengan erat berharap dia akan membawaku pulang. “Tidak perlu menangis, Nona! Ayo, ikutlah denganku! Aku tidak memiliki niatan buruk terhadapmu. Tinggalkan James disini, ia akan menunggumu”, wanita itu berkata pelan. Entah bagaimana caranya, ia bisa membiusku. Aku menangkap nada menenangkan dari arah suaranya, seketika aku menjadi yakin bahwa wanita ini hanya memiliki perangai menyeramkan, tapi tidak hatinya. Aku menatap James, dan ia tersenyum dengan lembut. Kuusap mataku yang berair dan berjalan pelan mengikuti wanita itu. Aku yakin, James tidak akan membawa malapetaka terhadapku. James menyayangiku walaupun aku tahu itu hanya sebatas adik.
                Wanita itu membuka sebuah pintu dan segera masuk, aku melongokkan kepala, terpampanglah ruangan besar dihadapanku yang digunakan untuk menampung banyak anak. Mereka berpakaian sama dengan masyarakat yang tinggal disitu.
                “Tempat apa ini?”, aku bergumam pelan.
                “Bukan apa-apa. Hanya panti asuhan menjijikan”, wanita itu menjawab acuh.
                “Siapa yang memberi mereka makan?”
                “Kami semua mencari makanan yang dapat kami kumpulkan. Tapi, yah, terkadang, ada juga orang dermawan seperti Tuan James yang memberikan banyak bantuan kepada kami”
                “Bagaimana cara kalian mencari makan?”
                “Yah, kau tahu, mengumpulkan sampah dan berharap menemukan makanan, atau paling tidak, menjual kembali sampah itu dan mendapatkan upah”
                Aku bergeming mendengarkan penjelasannya. “Memakan sampah bukan hal yang baik!”
                “Tapi tidak makan apapun juga bukan hal yang baik!”
                “Tapi sampah tidak steril, kalian akan terkena penyakit dan aku jauh lebih memilih tidak makan dibanding memakan sampah!”
                “Itukan kau, Nona muda! Tapi tidak, bagi kami. Makanan—apapun bentuknya—merupakan karunia Tuhan. Itulah yang aku ajarkan pada mereka”
                “Kau mengajarkan hal yang salah!”
                “Kalau begitu, ajarkanlah mereka hal yang benar!”
                Aku mengedarkan pandangan, tanpa kusadar, semua mata tertuju padaku. Aku bergidik melihat penampilan mereka yang tak jauh menyeramkan dari induk semangnya. Aku melihat kebelakang, dan James menghampiriku dengan tangan terlipat, “kau tau, alasanku mengajakmu ketempat ini?”
                “Ya, kau ingin memainkan lelucon denganku.”
                James tertawa, “bukan. Aku ingin kau menjadi mereka!”
                Aku melihat James dengan sikap jijik dan tak percaya. Makhluk apa yang berada dihadapanku ini? “James, kau gila!”
                “Aku tahu! Lihat, wanita itu memanggilmu. Kesanalah, katakan padanya kau akan membantu semua yang kau bisa. Kurasa, kau akan mulai dengan mengorek sampah, jadi sebaiknya, persiapkan dirimu!” James berjalan menuju pintu, aku berlari mengejarnya, namun langkahku tertahan dan kulihat tangan wanita tadi mengamit lenganku. Aku menangis, menjerit, dan memanggil James dengan perasaan takut. Tapi James tidak bergeming, dan terlambatlah semua karena pintu telah ditutup.


                Kulihat hari mulai gelap dan perutku keroncongan. Aku menyesal hanya memesan minum di kedai tadi. Aku memperhatikan keliling ruangan, badanku remuk, tubuhku kotor, tenagaku terkuras habis, aku merasa benar-benar sudah gila. Aku mengendap-endap ke pintu, kulihat tidak ada yang memperhatikanku, kubuka pintu dengan perlahan. Dan betapa leganya aku ketika pintu berhasil kututup, dan diruangan itu tidak ada seorangpun kecuali diriku. Aku mencari James untuk mengutukinya. Aku berjalan pelan kedepan, melirik kekanan dan kiri. Kulihat James disisi kiri rumah ini, sedang berbicara dengan seorang wanita cantik. Wanita itu berambut pirang, bermata biru dan berkulit pucat. Tubuhnya bersih dan ia sangat cantik, tidak terlihat seperti salah satu dari orang disini. James memegang tangannya. Aku berjalan dengan kencang ke arahnya, napasku memburu, aku benar-benar murka dengan tingkahnya kali ini. Setelah melakukan semua ini terhadapku, dia dengan beraninya menggoda wanita lain. Aku menghampirinya, menamparnya tanpa berkata, menyambar kunciku dari tangannya dan berlari ke arah mobilku tanpa mempedulikannya yang mengejar dan memanggil namaku. Tinggal satu langkah lagi sampai aku dapat menggapai pintu mobilku saat kurasa tanganku ditarik, aku melepaskan tarikan itu dengan satu hentakan dan berbalik, “Apa yang kau mau?! Kau ingin aku mengantarmu pulang? Baik. Naiklah dan aku akan mengantarmu pulang!”
                “Mengapa kau diluar?”
                “Cukup dengan pertanyaannya! Aku ingin pulang!”
                “Baiklah, biar aku antar kau pulang!”, dia menyambar tanganku, ingin mengambil kunci yang kupegang.
                “Hentikan!”, aku menghempaskan tangannya, “Aku sudah muak denganmu, James! Aku akan pulang dan aku yang menyetir, jika kau ingin pulang, aku akan mengantarkanmu! Tapi aku tidak mengijinkanmu memegang kemudi. Kau menyiksaku, James! Aku kelaparan, aku lelah, badanku kotor, dan aku seperti orang gila! Aku membenci tempat ini dan aku membencimu!”, aku menangis. Aku memakinya sekencang yang kubisa, karena sungguh, luapan marah dan tangisku tak terbendung lagi.
                “Maafkan aku, aku hanya ingin memberi pelajaran terhadapmu”, ia berkata melas.
                “Tapi bukan begini caranya!”, aku mendorongnya, memasuki mobilku, tak peduli terhadapnya yang telah menghancurkanku. Dia memanggil namaku, berteriak bahwa aku tak boleh pulang tanpanya. “Kau bisa tersesat, ijinkan aku pulang bersamamu!”
                “Apa ruginya bagimu jika aku tersesat? Aku sudah muak denganmu, James! Lepaskan mobilku atau kutabrak kau!”
            James tidak melepaskan tangannya dari mobilku, dengan terpaksa kujalankan mobil dan ia pun melepas tangannya dari jendelaku. Aku melaju dengan kecepatan penuh, tak peduli kearah mana kubawa benda itu. Aku memaki laki-laki itu didalam hatiku, mengutuknya karena membuat mataku tiada henti berair. Aku berjalan terus tanpa memperhatikan sekelilingku, tidak peduli dengan lampu merah. Tidak peduli dengan polisi, tidak peduli dengan bagaimana James akan pulang. Aku tidak peduli. Aku berteriak kencang, mengadu gigi atas dan bawahku, semakin lama semakin cepat roda empat ini kulaju. Aku memilih untuk berhenti, dalam sekejap, aku melepas kemudi, menginjak rem dan menenangkan diriku. Terdengar bunyi mesin yang kencang dijalanan sepi saat itu. Aku menengok ke kiri, dan sedetik kemudian sebuah truk mengadu moncongnya dengan bodi mobilku. Mobilku terbang, berguling-guling, dan kurasakan sesuatu menabrak pintu kemudi, tempatku berada. Aku mencoba membuka mata, tapi darah mengalir melewati mataku, membuatku susah untuk membukanya. Aku tertawa menyadari mobilku berada dalam keadaan terbalik. Tawaku makin meledak menyadari diriku bersimbah darah, kaca mobilku pecah, badannya hancur, begitupula yang kurasakan dalam tubuhku. Pandanganku remang, kulihat banyak kaki mengerumuni mobilku, ada beberapa yang mulai menunduk. Napasku tersengal, mataku terpejam, tapi aku masih dapat melihat seseorang. Jelas. Sangat jelas. Senyum ramah yang selalu kubanggakan. Orang yang paling mulia. Ya, orang itu Ibu.