Namaku
Sally Anderson. Aku lahir pada tanggal 17 Oktober 1991. Aku tinggal di kota
London. Aku merupakan anak tunggal dari pasangan kaya Anderson. Ayahku adalah
seorang yang memegang kekuasaan tertinggi di kantornya, dan Ibuku menjalankan
sebuah restoran yang cukup terkenal di kota ini. Aku menjalani kehidupan normal
layaknya manusia jaman sekarang. Bangun di pagi hari dan menjalankan aktifitas,
lalu pulang setelah selesai.
Aku membuka mata dan melirik jam
kecil yang berada disebelah tempat tidur. Tanggal di jam tersebut menunjukkan
hari Sabtu. Aku mencoba mengingat janji apa yang telah kubuat di hari ini,
setelah memastikan aku tidak mempunyai janji dengan siapapun, aku menarik
selimut hingga menutupi hidung dan mulutku. Aku sudah bersiap untuk kembali
terlelap hingga sebuah bunyi keras dalam perutku yang mengganggu. Dengan
terpaksa aku beranjak dari balik selimut, mengambil mantelku dan bergegas
menuju ruang makan. Kulahap roti panggang, ham dan telur, serta segelas susu
yang telah disediakan dengan rakus tanpa mempedulikan Ibu yang memperhatikan
dengan heran. Setelah menghabiskan susu dalam sekali teguk, aku langsung
bergegas ke kamar untuk melanjutkan mimpiku. Aku baru saja bermimpi indah.
Mimpi yang sangat indah. Aku bermimpi laki-laki yang kucintai—James
Jefferson—sedang berlutut dihadapanku dengan membawa sebuah kotak cincin. Dia
baru saja membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu sampai akhirnya aku
terbangun.
Aku duduk sebentar dipinggir kasur
untuk menurunkan apa saja yang baru kulahap. Setelah cukup lama, kubuka
mantelku dan segera merangkak kebalik selimut. Aku mencoba menutup mata, tapi
aku tak bisa terlelap. Aku mulai gelisah, miring ke kiri dan ke kanan, kucoba
untuk menggerak-gerakan bola mata sambil tetap terpejam—kudengar, ini cara yang
ampuh untuk membuat kita terlelap—namun tetap tidak bisa juga. Aku mencoba
untuk tidur dengan posisi yang sama dalam beberapa menit dan mencoba untuk
mematikan semua anggota tubuhku. Kurasakan jiwaku mulai melayang dan kesadaranku
semakin menipis, yah, aku sudah siap untuk terbang. Sampai akhirnya handphone sialan itu berbunyi! Aku
terlonjak dari tidurku, dan bersumpah akan mengutuk siapa saja yang memanggilku
jika hal yang ingin dibicarakan adalah hal yang tidak penting. Aku mengambil handphoneku dengan kesal. Dan betapa
kagetnya aku ketika membaca layar teleponku. Dari James, gumamku dalam hati. Aku mengangkatnya dan mengalunlah
dua kata dengan sangat merdu.
“Selamat
pagi!”
“Pagi,
James!”
“Hey,
Sally! Apa yang sedang kau lakukan?”
“Aku
baru saja sarapan. Ada apa?”
“Apa
kau ada janji hari ini?”
“Tidak”,
aku menggigit bibir
bagian bawahku.
“Bagus!
Bisa kita bertemu?”
“Tentu
saja!”
“Baiklah,
kutunggu kau di kedai Victoria pukul 9.30!”
“Ya,
aku akan kesana!”
“Bisa
tolong bawa mobilmu? Mobilku sedang dalam perbaikan”
“Ya,
aku akan membawanya.”
“Kalau
begitu, sampai jumpa!”
Dia menutup teleponnya dan kurasakan
pipiku merona. Lelaki yang sangat kucintai itu baru saja mengajakku berkencan.
Aku melompat dari kasur dan mengambil semua peralatan mandiku. Aku memikirkan
apa saja yang akan kami lakukan hari ini. James adalah seorang yang sangat
tampan. Ia memiliki rambut, alis dan mata berwarna cokelat muda, dengan kulit
pucat dan muka yang menarik. Dia pria jangkung berbadan tegap. Rambutnya tidak
terlalu gondrong, dan alisnya tebal. Sikapnya benar-benar dewasa dan
pembawaannya tenang. Dia adalah seorang yang sangat baik. Aku mengenalnya sejak
aku belum lahir ke dunia. Ia adalah salah satu dari anak kerabat dekat orang tuaku.
Kami saling mengenal satu sama lain, sehingga sudah sewajarnya James mengetahui
kebiasaan burukku. Akupun juga sebaliknya. Namun sayang, karena aku terlalu
mencintainya tak ada hal buruk apapun yang dapat kulihat darinya.
Setelah berpakaian, aku melirik jam
yang menunjukkan pukul 09.00. Aku buru-buru memasang sepatu dan mengambil kunci
mobil yang kugantung dipintu lemari. Dengan bergegas dan hati-hati, kuturuni
tangga dengan gesitnya. Tinggal satu langkah lagi untuk mencapai garasi, sampai
akhirnya Ibu menghalangi jalanku.
“Mau kemana, Sally?”
“Aku ada janji dengan teman, Bu”,
aku mencoba melewatinya.
“Kemana?”, Ibu menghalangiku.
“Kedai Victoria”, aku kembali
mencoba.
“Tolong jangan membohongiku lagi!”
Aku berhenti dan terdiam, “Apa aku
pernah membohongi Ibu?”
“Sayang, sudah lebih dari hitungan
jari kau membohongiku! Kau bilang ada janji dengan temanmu, tapi kau pulang
dengan membawa berkantong-kantong sampah. Ketika aku melihat apa yang kau beli,
sungguh, Sayang, aku benar-benar tak habis pikir. Lagi-lagi kau belanja hal
yang tidak perlu!”, jelasnya.
“Oh ya? Bagian mana yang itu? Aku
tidak ingat”
“Karena kau sudah terlalu banyak
membohongiku!”
“Apa yang aku beli saat itu?”
“Baju, perhiasan dan barang
elektronik lainnya”
“Bu, aku kan memang memerlukan semua
itu!”
“Sayang, lihatlah lemarimu! Lemari
itu baru saja diganti dan aku memesannya dengan khusus agar dapat menampung
semua pakaianmu. Awalnya kupikir akan membutuhkan lama bagimu untuk
memenuhinya, tapi ternyata aku salah! Lihatlah, baru dua bulan dan lemari itu
sudah penuh dengan rongsokkan!”
“Ayolah, Bu! Mereka pakaianku dan
aku membutuhkan mereka!”
“Sayang, kau tidak memakai mereka
semua dalam satu harikan? Kulihat kau hanya memakai pakaian yang kau suka dan
sisanya kau biarkan disana! Mengapa kau tidak memberikannya kepada sebuah
yayasan? Itukan lebih baik!”
“Aku suka mereka semua, Bu!”
Ibu menggelengkan kepala. “Baiklah,
Bu, aku akan melakukan sesuatu terhadap barang ‘rongsokan’ itu dan kuharap,
secepatnya Ibu tidak akan melihat mereka lagi”, aku mencoba menyelipkan kakiku
dicelah antara Ibu dan pintu.
“Kenapa kau tidak tinggal dirumah?
Inikan hari libur.”
“Untuk apa? Menjadi pesuruh Ibu?”
“Nak, seorang perempuan harus bisa
melakukan pekerjaan rumah tangga”
“Omong kosong! Aku akan menjadi kaya
dan sukses dan aku akan menyewa banyak orang untuk mengurus rumahku. Tidak ada
yang perlu direpotkan. Kita hidup dijaman modern, apapun dijaman ini menjadi
mungkin”
“Kau tidak bisa menggampangkan
segala hal”
“Baiklah, baiklah. Tapi Bu, dengar,
seseorang menungguku diluar dan waktu terus berjalan, jika Ibu tidak menyingkir
juga dan memaksaku untuk membicarakan hal konyol ini, aku akan terlambat dan
sungguh, aku tidak ingin kehilangan satu menitku yang berharga dengannya. Jadi
Bu, kumohon!”, aku memelas.
“Apakah itu James?”
“Ya!”, aku tersenyum lebar.
“Baiklah kalau begitu, katakan
padanya untuk membawamu pulang tepat waktu!”
“Akan
kusampaikan!”, Aku mencium pipi Ibu dan segera meluncurkan mobilku menuju kedai
Victoria. Waktu menunjukkan pukul 9.20 dan aku harus melewati ribuan kendaraan
disini agar dapat sampai tepat pada waktunya. Karena aku benar-benar tak mau
kehilangan satu menitpun dengannya.
Aku sampai tepat waktu. Kuparkirkan
mobilku didepan kedai itu. Dari dalam mobil, tidak ada henti-hentinya kukagumi
kedai yang menakjubkan itu. Kedai itu bergaya Eropa kuno dan modern. Dari depan
kita dapat melihat kedalam kedai karena pintu dan jendelanya semua terbuat dari
kaca dengan pinggiran kayu yang telah di cat warna hijau. Terdapat pot bunga
panjang yang—aku tidak tau tanaman apa itu—bunga-bunganya bermekaran. Bagaian
dalam kedai sengaja diciptakan dengan gaya eropa kuno yang memperlihatkan bata
pada dindingnya. Bangku dan meja ditata dengan juga bergaya Eropa kuno yang
elegan. Bangku dan meja itu ditata seperti berada didalam sebuah hansom. Terdapat beberapa ruang VIP yang
tiap ruangan dibatasi dengan sekat yang telah dibuat semirip mungkin dengan
kereta kuda.
Ada dua lantai di tempat ini, lantai
kedua terdapat ruangan terbuka yang dapat digunakan untuk merokok. Tapi tak
sembarang rokok yang boleh digunakan di tempat ini. Hanya rokok pipa yang
dibolehkan. Mengingat rokok pipa sudah jarang, hal itu dapat diantisipasi oleh
pihak kedai. Mereka menyewakan beberapa pipa dan beberapa jenis tembakau yang
dapat digunakan bagi siapa saja yang ingin mencoba merokok dengan cara seperti
ini. Aku suka duduk diruang terbuka ini, karena dari sini, aku dapat melihat
berbagai macam orang yang sedang merokok. Mulai dari yang sudah lihai menggunakan
pipa, sampai yang memegangnya dengan sangat aneh. Aku tidak suka merokok, tapi
aku tidak membencinya. Aku hanya suka memperhatikan mereka yang mencoba, baik
untuk yang pertama maupun kesekian kalinya.
Aku memasuki kedai itu dan menemukan
orang yang kucintai duduk disalah satu kursi. Aku mengambil tempat
disampingnya, dengan sumringah aku menyapanya.
“Sudah lama, James?”
“Tidak, aku baru saja sampai”
“Naik apa?”
“Bus”
“Lalu, mau kemana kita?”
Dia tertawa pelan, “Jangan
terburu-buru! Makanlah!”
“Tidak, akukan sudah makan”
“Baik, kalau begitu, biarkan aku
selesaikan ini dulu ya”
James makan dengan tenang, dan aku
memesan sebuah minuman. Kunikmati tiap waktu yang berlalu dikedai itu dengan
James. Aku memang seorang pecinta Eropa jaman dulu. Tak peduli sudah ribuan
kali aku ketempat ini, tapi tetap saja aku selalu terbius oleh keanggunan kedai
sederhana ini.
“Nah, ayo!”, kata-katanya
membuyarkan lamunanku. Ia mengambil kunci mobil ditanganku dan berjalan pelan
kearah mobil yang kuparkir didepan. Aku dan James membisu disepanjang
perjalanan. Aku tidak ingin bertanya dan James tidak ingin menjelaskan. Aku
sengaja diam karena biarlah tempat itu menjadi kejutan untukku. Mobil terus
melaju dengan kebisuan yang terdapat didalamnya. Aku mengedarkan pandangan
keluar jendela, menatap satu demi satu hal yang dapat kunikmati. Tuhan, sungguh
indah negeri ini!
Perjalanan yang kami lalui cukup
jauh, aku sudah mulai tidak mengenali tempat yang kami lewati, ketika aku
tersadar, aku melihat kami berada disebuah pemukiman kumuh. Aku menatap James
dengan gelisah, tapi ia tetap tidak berkata apa-apa. Aku mulai merasa semua ini
tidak benar, aku menarik lengan bajunya ingin berkata bahwa ia salah arah, tapi
kemudian dia berkata, “Ayo turun! Kita sudah sampai!”
Aku tertegun menatapnya tak percaya.
“Tempat apa ini, James?”
“Tempat yang menarik, bukan?”, ia
tersenyum.
“Tidak, James. Kau harus membawaku
pulang!”, aku mulai panik.
“Tenanglah, tak akan ada yang
menyakitimu disini!”
“James…”, aku berkata lirih. Kami
berdiri dihadapan sebuah bangunan tua yang amat mengerikan. Aku berani
bersumpah pasti ada ribuan hantu didalamnya. Terdapat banyak kubangan lumpur
didepannya. Ada beberapa orang disana. Mereka semua terlihat mengenaskan, dengan
pakaian yang serba ditambal, wajah kotor dan rambut kusut. Aku tersentak
mendengar langkah kaki berderap dengan kencang ke arah kami. Rupanya anak-anak
kecil tanpa alas kaki yang membawa bola dan bersiap bermain diatas tanah
berlumpur itu. Aku mendekatkan diri pada James.
James
menarikku kerumah bobrok disebelah bangunan itu. Syukurlah, bangunan itu bukan
tempat yang kita tuju. Walaupun rumah disebelahnya tidak jauh lebih baik, tapi
setidaknya aku yakin hantu dirumah ini tidak sebanyak dibangunan menyeramkan
tadi. James memasuki rumah itu sambil terus menarikku. Berbagai pikiran muncul
dibenakku. Hancur sudah harapanku bersenang-senang dengan James.
“Kupikir
kita akan bersenang-senang”, isakku.
“Yah,
kurasa, ini dapat disebut bersenang-senang”
James
membuka pintu dihadapannya dan terlihatlah seorang—yang aku tidak tahu apakah
perempuan atau laki-laki—sedang duduk diatas kasur sambil memunggungi kami.
Orang itu berambut pendek berwarna abu-abu, kulitnya hitam dan pakaiannya
banyak tambalan.
“Selamat
siang!”, James menyapanya riang. Ia menoleh dan terpampanglah wajah mengerikan
dihadapanku. Ketika tersenyum, terlihatlah sederetan giginya yang menghitam.
James memperkenalkanku, “Ini Sally. Waktu itu aku pernah membicarakan
tentangnya padamu”
Orang
mengerikan tadi berjalan mendekatiku, aku makin merapatkan tubuhku ke punggung
James. Ketika sudah cukup dekat, orang itu tersenyum. “Selamat siang, Nona
manis!”, dia berkata lirih. Tampaknya seorang wanita. Aku mengangguk dengan
gugup. Wanita itu tertawa. Aku mulai bergetar menandakan aku sangat ketakutan.
James berbisik pelan, “Tenanglah! Orang disini baik-baik.”
Aku
menatapnya tidak percaya, apa-apaan dia? Orang macam apa yang berpikir begitu?
Siapapun pasti tahu dan dapat menebak, bahwa mereka yang tinggal didaerah
seperti ini paling tidak memiliki sebuah bisa beracun! “Ikutlah dengannya!”,
James berkata pelan. Aku menggelengkan kepala. James mendorongku keluar dari
balik tubuhnya. Wanita tadi telah memunggungiku. Aku berbalik arah, menatap
James dengan tatapan minta ampun dan berkata, “James, apakah kau tega
terhadapku?”
Ia
menggeleng pelan. Aku mulai merasa adanya harapan, tiba-tiba sebuah tangan
memegang pundakku, aku terlonjak. Kupeluk James dengan erat berharap dia akan
membawaku pulang. “Tidak perlu menangis, Nona! Ayo, ikutlah denganku! Aku tidak
memiliki niatan buruk terhadapmu. Tinggalkan James disini, ia akan menunggumu”,
wanita itu berkata pelan. Entah bagaimana caranya, ia bisa membiusku. Aku
menangkap nada menenangkan dari arah suaranya, seketika aku menjadi yakin bahwa
wanita ini hanya memiliki perangai menyeramkan, tapi tidak hatinya. Aku menatap
James, dan ia tersenyum dengan lembut. Kuusap mataku yang berair dan berjalan
pelan mengikuti wanita itu. Aku yakin, James tidak akan membawa malapetaka
terhadapku. James menyayangiku walaupun aku tahu itu hanya sebatas adik.
Wanita
itu membuka sebuah pintu dan segera masuk, aku melongokkan kepala, terpampanglah
ruangan besar dihadapanku yang digunakan untuk menampung banyak anak. Mereka
berpakaian sama dengan masyarakat yang tinggal disitu.
“Tempat
apa ini?”, aku bergumam pelan.
“Bukan
apa-apa. Hanya panti asuhan menjijikan”, wanita itu menjawab acuh.
“Siapa
yang memberi mereka makan?”
“Kami
semua mencari makanan yang dapat kami kumpulkan. Tapi, yah, terkadang, ada juga
orang dermawan seperti Tuan James yang memberikan banyak bantuan kepada kami”
“Bagaimana
cara kalian mencari makan?”
“Yah,
kau tahu, mengumpulkan sampah dan berharap menemukan makanan, atau paling
tidak, menjual kembali sampah itu dan mendapatkan upah”
Aku
bergeming mendengarkan penjelasannya. “Memakan sampah bukan hal yang baik!”
“Tapi
tidak makan apapun juga bukan hal yang baik!”
“Tapi
sampah tidak steril, kalian akan terkena penyakit dan aku jauh lebih memilih
tidak makan dibanding memakan sampah!”
“Itukan
kau, Nona muda! Tapi tidak, bagi kami. Makanan—apapun bentuknya—merupakan
karunia Tuhan. Itulah yang aku ajarkan pada mereka”
“Kau
mengajarkan hal yang salah!”
“Kalau
begitu, ajarkanlah mereka hal yang benar!”
Aku
mengedarkan pandangan, tanpa kusadar, semua mata tertuju padaku. Aku bergidik
melihat penampilan mereka yang tak jauh menyeramkan dari induk semangnya. Aku
melihat kebelakang, dan James menghampiriku dengan tangan terlipat, “kau tau,
alasanku mengajakmu ketempat ini?”
“Ya,
kau ingin memainkan lelucon denganku.”
James
tertawa, “bukan. Aku ingin kau menjadi mereka!”
Aku
melihat James dengan sikap jijik dan tak percaya. Makhluk apa yang berada
dihadapanku ini? “James, kau gila!”
“Aku
tahu! Lihat, wanita itu memanggilmu. Kesanalah, katakan padanya kau akan
membantu semua yang kau bisa. Kurasa, kau akan mulai dengan mengorek sampah,
jadi sebaiknya, persiapkan dirimu!” James berjalan menuju pintu, aku berlari
mengejarnya, namun langkahku tertahan dan kulihat tangan wanita tadi mengamit
lenganku. Aku menangis, menjerit, dan memanggil James dengan perasaan takut.
Tapi James tidak bergeming, dan terlambatlah semua karena pintu telah ditutup.
Kulihat
hari mulai gelap dan perutku keroncongan. Aku menyesal hanya memesan minum di
kedai tadi. Aku memperhatikan keliling ruangan, badanku remuk, tubuhku kotor,
tenagaku terkuras habis, aku merasa benar-benar sudah gila. Aku mengendap-endap
ke pintu, kulihat tidak ada yang memperhatikanku, kubuka pintu dengan perlahan.
Dan betapa leganya aku ketika pintu berhasil kututup, dan diruangan itu tidak
ada seorangpun kecuali diriku. Aku mencari James untuk mengutukinya. Aku
berjalan pelan kedepan, melirik kekanan dan kiri. Kulihat James disisi kiri
rumah ini, sedang berbicara dengan seorang wanita cantik. Wanita itu berambut
pirang, bermata biru dan berkulit pucat. Tubuhnya bersih dan ia sangat cantik,
tidak terlihat seperti salah satu dari orang disini. James memegang tangannya.
Aku berjalan dengan kencang ke arahnya, napasku memburu, aku benar-benar murka
dengan tingkahnya kali ini. Setelah melakukan semua ini terhadapku, dia dengan
beraninya menggoda wanita lain. Aku menghampirinya, menamparnya tanpa berkata,
menyambar kunciku dari tangannya dan berlari ke arah mobilku tanpa mempedulikannya
yang mengejar dan memanggil namaku. Tinggal satu langkah lagi sampai aku dapat
menggapai pintu mobilku saat kurasa tanganku ditarik, aku melepaskan tarikan
itu dengan satu hentakan dan berbalik, “Apa yang kau mau?! Kau ingin aku
mengantarmu pulang? Baik. Naiklah dan aku akan mengantarmu pulang!”
“Mengapa
kau diluar?”
“Cukup
dengan pertanyaannya! Aku ingin pulang!”
“Baiklah,
biar aku antar kau pulang!”, dia menyambar tanganku, ingin mengambil kunci yang
kupegang.
“Hentikan!”,
aku menghempaskan tangannya, “Aku sudah muak denganmu, James! Aku akan pulang
dan aku yang menyetir, jika kau ingin pulang, aku akan mengantarkanmu! Tapi aku
tidak mengijinkanmu memegang kemudi. Kau menyiksaku, James! Aku kelaparan, aku
lelah, badanku kotor, dan aku seperti orang gila! Aku membenci tempat ini dan
aku membencimu!”, aku menangis. Aku memakinya sekencang yang kubisa, karena
sungguh, luapan marah dan tangisku tak terbendung lagi.
“Maafkan
aku, aku hanya ingin memberi pelajaran terhadapmu”, ia berkata melas.
“Tapi
bukan begini caranya!”, aku mendorongnya, memasuki mobilku, tak peduli
terhadapnya yang telah menghancurkanku. Dia memanggil namaku, berteriak bahwa
aku tak boleh pulang tanpanya. “Kau bisa tersesat, ijinkan aku pulang
bersamamu!”
“Apa
ruginya bagimu jika aku tersesat? Aku sudah muak denganmu, James! Lepaskan
mobilku atau kutabrak kau!”
James tidak melepaskan tangannya dari mobilku, dengan
terpaksa kujalankan mobil dan ia pun melepas tangannya dari jendelaku. Aku
melaju dengan kecepatan penuh, tak peduli kearah mana kubawa benda itu. Aku
memaki laki-laki itu didalam hatiku, mengutuknya karena membuat mataku tiada
henti berair. Aku berjalan terus tanpa memperhatikan sekelilingku, tidak peduli
dengan lampu merah. Tidak peduli dengan polisi, tidak peduli dengan bagaimana
James akan pulang. Aku tidak peduli. Aku berteriak kencang, mengadu gigi atas
dan bawahku, semakin lama semakin cepat roda empat ini kulaju. Aku memilih
untuk berhenti, dalam sekejap, aku melepas kemudi, menginjak rem dan menenangkan
diriku. Terdengar bunyi mesin yang kencang dijalanan sepi saat itu. Aku
menengok ke kiri, dan sedetik kemudian sebuah truk mengadu moncongnya dengan
bodi mobilku. Mobilku terbang, berguling-guling, dan kurasakan sesuatu menabrak
pintu kemudi, tempatku berada. Aku mencoba membuka mata, tapi darah mengalir
melewati mataku, membuatku susah untuk membukanya. Aku tertawa menyadari
mobilku berada dalam keadaan terbalik. Tawaku makin meledak menyadari diriku
bersimbah darah, kaca mobilku pecah, badannya hancur, begitupula yang kurasakan
dalam tubuhku. Pandanganku remang, kulihat banyak kaki mengerumuni mobilku, ada
beberapa yang mulai menunduk. Napasku tersengal, mataku terpejam, tapi aku
masih dapat melihat seseorang. Jelas. Sangat jelas. Senyum ramah yang selalu
kubanggakan. Orang yang paling mulia. Ya, orang itu Ibu.
ceritanya bagus :) chapter IInya kapan keluar ?
ReplyDelete